Adab-adab Sebagai Murid
Syarh Kitab tadzkirah Assami’ wal Mutakallim Fii Adabil ‘Alim wal Muta’allim
Bab Ketiga : Adab-adab sebagai murid
Pasal yang pertama adab murid pada dirinya.
Ada sepuluh bagian.
1️⃣. Yang pertama, Hendaknya membersihkan hatinya dari segala sifat yang curang,kotor, benci, hasad, keyakinan yang buruk dan akhlak tercela.agar dengan hal itu hatinya akan layak menerima ilmu dan menjaganya, dan bisa mengetahui sisi-sisi cermat maknanya dan hakikat- hakikatnya yang samar, karena ilmu -sebagaimana perkataan sebagian dari mereka,(shalat sembunyi-sembunyi, ibadah hati, dan kedekatan batin).sebagaimana shalat yang merupakan ibadah anggota tubuh yang tampak maka tidak sah kecuali dengan kesucian lahir dari hadats dan najis, maka demikian juga ilmu yang merupakan ibadah hati, ia tidak akan sah kecuali dengan kesucian hati dari sifat-sifat yang buruk, kotoran dan noda akhlak-akhlak yang tercela.
Jika hati telah dibersihkan untuk ilmu, maka terlihat lah keberkahan ilmu dan perkembangannya, layaknya tanah yang disiapkan dengan baik, maka apa yang ditanam padanya akan tumbuh dengan baik. Sebagaimana Dalam hadits,
وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)”
Sahl berkata,
ا حَرَامٌ عَلَى قَلْبٍ يَدْخُلُهُ النُّوْرُ وَفِيهِ شَيْءٌ مِمَّا يَكْرَهُ اللهُ ﷻ.
Cahaya tidak akan masuk ke dalam hati sementara di sana tersimpan sesuatu dari apa yang dibenci Allah ﷻ.”
Niat yang Baik dalam Menuntut Ilmu]
2️⃣. Yang Kedua,Memperbaiki niat dalam mencari ilmu, yaitu bertujuan untuk mengharapkan Wajah Allah ﷻ dengan mencari ilmu, mengamalkannya, menghidupkan syariat, menyinari hatinya, menghiasi batinnya, mendekat kepada Allah ﷻ pada hari pertemuan dengan-Nya, merengkuh apa yang Allah ﷻ sediakan untuk ahli ilmu berupa ridha-Nya dan karunia-Nya yang besar. Sufyan ats-Tsauri berkata,
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِيْ
“Aku tidak memperbaiki sesuatu yang lebih sulit bagiku daripada niatku.”
Mencari ilmu bukan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan dunia,yaitu berupa kepemimpinan, kedudukan(jabatan), harta kekayaan, menyaingi teman yang sejawat, agar masyarakat menghormatinya dan mendudukkannya sebagai pemegang majelis-majelis dan hal-hal yang sepertinya, karena dengan itu dia telah menukar sesuatu yang lebih baik untuk mendapatkan sesuatu yang lebih rendah.
Abu Yusuf berkata,
أريدُوا بِعِلْيكُمُ الله تعالى فَإِنِّي لَمْ أَجْلِسْ قَط أَنْوِي فِيْهِأَتَوَاضَعَ إِلَّا لَمْ أَقُمْ حَتَّى أَنْ أَعْلُوهُمْ، وَلَمْ أَجْلِسُ تَجْلِسًا قَط أَنوي فِيهِ أَنْ أَعْلُوهُمْ إِلَّا لَمْ أَ قم حتى أَفْتَضَحَ.
“Inginkanlah Allah ﷻ dengan ilmu kalian, sesungguhnya aku tidak duduk di satu majelis pun dengan niat untuk tawadhu’ kecuali belumlah aku bangkit darinya sehingga aku mengungguli mereka, dan aku tidak duduk di satu majelis pun dengan niat untuk meng- ungguli mereka kecuali belumlah aku bangkit darinya sehingga aku dipermalukan.”
Ilmu adalah salah satu ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, jika niat penuntutnya ikhlas karena Allahﷻ maka ilmu diterima, tumbuh dan berkembang keberkahannya, namun jika tujuan menuntutnya adalah selain Wajah Allah ﷻ, maka ia batal, sia-sia dan perdagangannya merugi, dan bisa jadi tujuan- tujuan tersebut lepas dari tangannya, dia gagal meraihnya, maka tujuannya lenyap dan usahanya sia-sia.
3️⃣. Yang Ketiga,Menggunakan masa muda dan waktu-waktu hidup nya untuk menuntut ilmu, dan tidak tertipu oleh fatamorgana angan- angan dan penundaan, karena satu waktu dari umur yang telah berlalu, maka tidak memiliki ganti dan kompensasi.
Menyisihkan apa yang mampu untuk disisihkan berupa hubungan-hubungan yang menyibukkan dan rintangan-rintangan yang menghadang kesempurnaan menuntut ilmu, mengerahkan seluruh kesungguhan dan meningkatkan keseriusan dalam menuntut ilmu, karena ia seperti pembegal, karena itu para Salaf menganjurkan penuntut ilmu agar merantau meninggalkan keluarga dan negerinya sebagai orang asing, karena jika pemikiran bercabang, maka ia lemah dalam mengetahui hakikat-hakikat dan hal-hal yang detail.
(ما جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ )
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.” (Al-Ahzab: 4).
Karena itu ada yang berkata,
الْعِلْمُ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ.
“Ilmu tidak memberimu sebagian darinya sebelum kamu memberinya dirimu secara sepenuhnya.”
Al-Khathib al-Baghdadi menukil dalam al-Jami’ dari salah seorang ulama, bahwa dia berkata,
لَا يَنَالُ هَذَا الْعِلْمَ إِلَّا مَنْ عَطَلَ دُكَّانَهُ، وَخَرَّبَ بُسْتَانَهُ، وَهَجَرَ إِخْوَانَهُ، وَمَاتَ أَقْرَبُ أَهْلِهِ فَلَمْ يَشْهَدْ جَنَازَتَهُ.
“Ilmu ini tidak bisa diraih kecuali oleh siapa yang menutup kiosnya, membiarkan kebunnya, meninggalkan saudara-saudaranya, dan ketika kerabatnya yang paling dekat meninggal dunia, dia tidak menghadiri jenazahnya.”
Sekalipun ucapan ini berlebih-lebihan, namun maksudnya adalah memfokuskan hati dan menyatukan pikiran untuk ilmu.
Ada yang berkata, “Sebagian syaikh memerintahkan seorang muridnya melakukan seperti pendapat al-Khathib, maka perkara terakhir yang syaikh perintahkan kepadanya adalah,
اصْبَعْ تَوْبَكَ كَيْلَا يَشْغَلَكَ فِكْرُ غَسْلِهِ.
Celuplah pakaianmu dengan warna gelap agar kamu tidak sibuk memikirkan bagaimana mencucinya”.
Di antara yang dikatakan dari asy-Syafi’i, bahwa dia berkata,
لَوْ كُلِّفْتُ شِرَاءَ بَصَلَةٍ مَا فَهِمْتُ مَسْأَلَةٌ.
“Seandainya aku diminta membeli sebiji bawang merah, niscaya aku tidak memahami satu masalah (apalagi kalau dibebani banyak hal).”
Wallahu a’lam.
Rujukan :
Kitab tadzkirah Assami’ wal Mutakallim Fii Adabil ‘Alim wal Muta’allim karya Imam badruddin Ibnu jama’ah al kinani asy-syafi’i.