Syarah Riyadhus sholihin
Bab 2 : Taubat.
Hadits No. 13
۱۳ – وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِوَاللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً)). (رواه البخاري)
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia mengemukakan; Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Al-Bukhari)
Kandungan Hadits
- Diperbolehkan bersumpah atas sesuatu untuk memberi penekanan meskipun tidak terdapat keraguan atau pun kebimbangan bagi orang yang mendengarnya.
- Diperintahkan kepada semua umat untuk bertaubat dan memohon ampun. Sebab Rasulullah, orang yang dosa-dosa masa lalu dan masa depannya telah diampuni, tetap memohon ampun dan sungguh- sungguh dalam bertaubat kepada-Nya.
- Memperbanyak permohonan ampun dan bertaubat, karena seorang hamba tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kekurangan. Di samping itu, hendaklah dia menyadari bahwa tempat kembalinya ada di tangan Allah ﷻ.
Hadits No. 14
١٤ – وَعَنِ الْأَغَرِ بْنِ يَسَارِ الْمُرْنِي رَسولَهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ، فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ)). (رواه مسلم)
- Dari al-Agharr bin Yasar al-Muzani radhiyallahu anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah ﷻ dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat seratus kali dalam sehari.” (HR. Muslim)
Kandungan Hadits
- Kewajiban bertaubat bagi tiap individu. Alasannya, perintah Nabi tersebut menunjukkan suatu keharusan. Adapun orang yang diajak bicara oleh beliau dengan sabdanya itu adalah seluruh umat manusia, tanpa terkecuali.
- Ikhlas dalam bertaubat merupakan syarat diterimanya taubat. Atas dasar itu, siapa saja yang meninggalkan suatu dosa karena selain Allah-misalnya, seseorang meninggalkan atau mengabaikan suatu dosa karena kikir terhadap harta kekayaannya, atau agar tidak dicela manusia, atau tidak mampu melakukannya, atau dikarenakan takut kepada makhluk-maka dia tidak disebut sebagai orang yang bertaubat, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Karena itulah, taubat terikat kepada Allah ﷻ semata. Pembatasan ini pun memberi pengertian syarat, seperti termaktub dalam al-Qur-an:
إن تنوبا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُما ….
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran)….” (QS. At-Tahrim [66] 4)
Juga sesuai dengan firman-Nya ﷻ:
… وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“… Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nûr [24]: 31)
Secara jelas pula, hal itu ditegaskan melalui firman Allah ﷻ :
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُوْلَبِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا )
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalan- kan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 146)
- Disunnahkan agar memperbanyak permohonan ampun dan upaya untuk segera bertaubat..
Hadits No. 15
١٥ – وَعَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِي رَمَ اللَّهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُولِ اللهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ في أَرْضِ فَلَاةٍ)). (متفق عليه)
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: (اللَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَبِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، وَقَدْ أَيسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ)).
- Dari Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari radhiyallahu anhu, pembantu/pelayan Rasulullah ﷺ ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah-tengah padang pasir.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan di dalam riwayat Muslim disebutkan: “Sesungguhnya Allah sangat gembira terhadap taubat hamba-Nya, ketika dia bertaubat kepada-Nya, melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang ada di atas kendaraan (tunggangan)nya di tengah-tengah padang pasir, kemudian kendaraannya itu lari meninggalkannya padahal di atasnya terdapat dan minuman, sehingga dia pun berputus asa untuk menemukannya kembali.Kemudian hamba tersebut mendatangi sebatang pohon lalu berbaring di bawah naungannya, sementara dia telah putus asa untuk menemukan kembali tunggangannya tadi. Dan tatkala dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dia mendapati tunggangannya tadi dalam keadaan berdiri di sampingnya. Lantas hamba itu memegang tali kekangnya, dan karena sangat gembira dia berucap: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Hamba tersebut salah (keliru) saat mengucapkan kalimat itu karena kegembiraannya yang sangat.”
Kandungan Hadits :
- Penetapan sifat gembira (فرح) bagi Allahﷻ. Sesungguhnya sifat ini sesuai dengan kebesaran dan kesempurnaan-Nya. Dengan ditetapkannya sifat gembira bagi Allah ini, tidak berarti bahwa kegembiraan Allah itu sama dengan kegembiraan makhluk ciptaan-Nya (manusia), yang pada umumnya diekspresikan melalui suatu gerakan, sikap sukacita, maupun perubahan pribadi saat mendapat keberuntungan guna menyempurnakan kekurangan diri sendiri. Karena kesalahpahaman itulah, sebagian orang beranggapan sifat tersebut sebagai kinayah (kiasan) dari keridhaan, penerimaan, dan sambutan-Nya yang segera. Penafsiran yang demikian jelas bathil, sebab di dalamnya terdapat penyamaan antara Allah (Khalik) dan makhluk (hamba). Ironisnya, ketika menyadari sifat makhluk tidak akan sama dengan sang Khalik, mereka malah meniadakan atau menakwilkan sifat-sifat-Nya.
Sebagaimana diketahui bersama, pendapat dalam satu sifat tertentu. seperti pendapat dalam semua sifat dari sisi keimanan terhadapnya; yaitu iman terhadap wujud sifat tersebut, dan bukan iman terhadap bagaimananya. Apabila tidak dipahami bahwa kesamaan lafazh tidak serta merta berarti kesamaan dzat, maka ketidakpahaman ini akan berdampak pada keharusan untuk menafikan sifat-sifat-Nya secara umum dan terperinci.
Berdasarkan semua itu, dipahami bahwasanya Allah ﷻ mempunyai kegembiraan yang sesuai dengan kebesaran dan kesempurnaan-Nya, sebagaimana makhluk juga mempunyai kegembiraan yang sesuai dengan kelemahan dan kemiskinannya. Kita pun beriman terhadap sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan sunnah Rasulullah ﷺ yang shahih. Kita tidak boleh melampaui al-Qur-an dan al-Hadits. Kita juga tidak boleh memberikan perumpamaan melainkan hanya boleh menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan. Allah ﷻ bagi diri-Nya sendiri, serta menafikan segala sesuatu yang Dia nafikan bagi diri-Nya, dan mendiamkan apa yang Dia diamkan. Sebab Allah itu Mahatinggi; Dia yang lebih mengetahui dan lebih bijaksana; sehingga, menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya adalah lebih selamat. Sifat gembira bagi Allah ditetapkan oleh as-Sunnah secara tersendiri. Dan, sebagaimana dimaklumi, hukum as-Sunnah itu sama hukum al-Qur-an dari segi kelaziman taklif (pembebanan syariat) serta keharusan menerima dan mengindahkannya.
- Keluasan rahmat Allahﷻ jauh melampaui kezhaliman para pelaku kejahatan. Rahmat-Nya meliputi para pelaku kebaikan, bahkan ia mencakup taubat (para pelaku keburukan), dan mampu mengampuni segala dosa.
- Seseorang yang tidak disengaja melakukan kesalahan tidak dihukum, misalnya dalam kondisi panik dan bingung.
- Siapa saja yang bersandar kepada selain Allahﷻ, dapat dipastikan bahwa ia akan sangat membutuhkan bantuannya. Sebab, hamba dalam hadits di atas tidak akan menyengaja tidur di padang pasir sendirian tanpa bersandar pada bekalnya. Lantas ketika dia bersandar penuh pada unta yang membawakan bekalnya, justru hewan itu mengkhianatinya. Kalau saja bukan karena kelembutan Allahﷻ kepadanya, dan apabila Dia tidak mengembalikan untanya yang telah hilang, maka pasti dia akan binasa.
- Menyerahkan urusan kepada Allahﷻ adalah keputusan yang baik dan penuh berkah. Karena ketika telah berputus asa untuk dapat menemukan binatang kendaraannya, hamba tersebut lantas segera berserah diri sehingga Allahﷻ pun memberikan anugerah-Nya dengan mengembalikan tunggangannya yang hilang itu.
- Disunnahkan mengikuti jejak Nabi ﷺ dalam berdakwah dengan memberi perumpamaan yang kasat mata, yakni agar makna yang dimaksud lebih mudah dipahami dan lebih jelas. Perumpamaan yang dimaksud terkait hal-hal indrawi yang diungkapkan secara ilmiah dan sesuai manfaat syariat; sehingga tidak diperkenankan memberi perumpamaan dengan bersenda gurau, ataupun ia dengan sekadar meniru-niru, ataupun dengan cara menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang sia-sia.
- Perintah untuk muhasabatun nafsi (berintrospeksi diri terhadap apa yang menjadi kelemahan diri sendiri).
Rujukan :
Bahjatun Nadzirin Syarah Riyadhus Shalihin (بهجة النا ظرين شرح رياض الصالحين)Karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali حفظه الله تعالى.